Minggu, 24 April 2016

IIP FERDIANSYAH
Hidup ini cerminan dari apa yang kita katakan. Oleh karena itu, berhatilah-hatilah dengan apa yang kita katakan, karena hidup akan mencerminkan kembali kepada kita. Demikian ungkap Iip Ferdiansyah tentang pandangan hidupnya. Pria kelahiran Jakarta, 23 Mei 1983 ini terkesan ramah, humoris dan suka membantu di hadapan masyarakat. Apabila berbicara kepadanya, waktu akan terasa sangat singkat. Apalagi jika berbicara tentang kehidupan. Banyak petuah bijak yang dapat dijadikan cerminan dari sikapnya yang selalu mencoba untuk tidak kewalahan dengan tantangan, dan berfikir sebelum melakukan sesuatu hal. Dengan cara memusatkan pada hal-hal yang baik dan menjaga diri dengan sudut pandang yang benar. 
Pria yang akrab disapa Iip ini berkerja di Pemerintahan Kota Tanjungpinang sejak 10 tahun yang lalu. Dunia yang menjadi profesinya, membuat dia cenderung untuk dekat dengan masyarakat yang menghantarkan banyak pengalaman. Pengalaman yang paling berharga menurutnya adalah pengalaman membantu orang lain. Membantu orang lain dapat membantu diri kita sendiri, katanya.
Dalam mencapai kesuksesan, Iip meyakini suatu hal bahwa satu-satunya aset yang paling kuat yang kita miliki ialah pikiran kita. Jika pikiran dilatih dengan baik, ia dapat menciptakan kekayaan yang luar biasa dalam waktu yang kelihatannya singkat. Dan berhati-hatilah dalam memilih pikiran-pikiran mana yang akan kita ambil sebagai pikiran kita sendiri. Adapun cara untuk mengatasi hambatan kesuksesan adalah ketika kita nyaris mencapai apapun yang kita inginkan, saat itu pula setengah mati kita harus memperjuangkannya. Dan apabila kita gagal, jangan pernah putus asa. Niatkan kembali dalam diri kita untuk tidak berhenti dan terus memulainya dengan lebih baik. Karena dengan membuat kesalahan akan membuat seseorang menjadi lebih baik.
Iip telah menunjukkan kepada kita, menjaga niat dan tujuan kita merupakan hal yang sangat penting. Tanamkan dalam pikiran kita, cara terbaik agar terhindar dari sesuatu yang buruk adalah jangan pernah memulainya. Konsentrasi untuk melakukan lebih banyak hal-hal yang berhasil dalam hidup kita.
ISTRI ITU PENDAMPING BUKAN PEMBANTU
Nurhasanah

Pada suatu subuh yang dingin, ku langkah kakiku berayun mengikuti irama hati. Aku menyusuri setiap sudut rumah yang masih sepi. Aroma embun masih tercium, dan nyanyian burung seakan menyambut mentari kembali. Ketika itu, ku dapati ibuku sedang memasak di dapur, dengan penuh nuangsa keceriaan. Bagiku ibu adalah panutan hatiku. Meskipun usiaku sudah 27 tahun, tapi Ibu tetap menjadi sosok pujaan yang paling dekat denganku.
“Ibu masak apa? Ada yang bisa ku bantu?” aku bertanya manja pada ibuku.
“Ini nak, Ibu masak ayam goreng dengan sambal tomat kesukaan Bapak.” sahutnya dengan nada penuh mesra.
“Alhamdulillah, pasti enak ni. Baunya saja menggodaku, Bu” puji ku sambil tersenyum.
“Kamu ini nak, paling pintar buat Ibu tersenyum.”
“Bu… calon istriku sepertinya tidak bisa memasak.”
“Iya, terus kenapa jika calon istrimu tidak bisa memasak?” tanya Ibu.
“Ya tidak kenapa-kenapa sih, Bu. Hanya cerita saja, karena yang ku tahu seorang istri itu harus pintar masak seperti Ibu.”
“Apa kamu pikir bahwa memasak, mencuci, dan mengurus rumah itu kewajiban wanita?”
Aku menatap Ibu dengan ketidakpahaman. Lalu Ibu melanjutkan kata-katanya.
“Ketahuilah Nak, itu semua adalah kewajiban laki-laki. Kewajiban kamu kalau sudah beristri.” Katanya sambil menatapku.
“Tapi bukankah Ibu setiap hari melakukannya?” aku masih tidak paham juga.
“Kewajiban istri adalah taat dan mencari ridho suami.” ujar Ibu.
Aku semakin bingung dengan perkataan Ibuku. Beliau justru berbalik menatapku.
“Menurutmu pengertian nafkah itu seperti apa? Bukankah kewajiban suami itu menafkahi istri?”
“Iya, tentu Bu…” jawabku singkat.
“Pakaian yang bersih adalah nafkah. Sehingga mencuci adalah kewajiban suami. Makanan adalah nafkah. Maka, kalau masih berupa beras, berarti masih setengah nafkah. Jadi, memasak adalah tugas suami. Begitu juga dengan menyiapkan rumah tinggal, kebersihan rumah, dan kebutuhan keluarga adalah kewajiban suami.” jelas Ibu.
“Wah… sampai begitunya ya Bu? Lalu kenapa Ibu melakukannya semua tanpa menuntut Bapak sekalipun?”
“Karena Ibu juga seorang istri yang mencari ridho dari suami. Ibu juga mencari pahala untuk bekal di akhirat kelak. Ibu juga mencintai bapakmu, mana mungkin Ibu tega menyuruh bapakmu melakukan semuanya sendiri.”
Aku hanya diam terpesona.
“Pernah dengar cerita Fatimah, yang meminta pembantu kepada ayahnya, Nabi Muhammad Saw, karena tangannya pecah-pecah akibat menumbuk gandum? Tapi Rasulullah tidak memberinya. Karena Beliau tahu betul bahwa wanita dengan penuh kecintaannya telah melakukan bermacam-macam tugas yang mendatangkan pahala.”
“Iya Bu…”
“Pertanyaan lagi Bu, kenapa Ibu tetap mau melakukannya padahal itu bukan kewajiban Ibu?”
“Nak, menikah bukan hanya soal menuntut hak kita. Istri menuntut suami dan suami menuntut istri. Tapi banyak hal lain. Menjaga keharmonisan, kasih sayang, bekerja sama, dan saling memahami. Wanita yang baik itu istri yang membantu suaminya, dan lelaki yang baik itu suami yang membantu istrinya. Toh, impiannya sama-sama untuk mencapai rumah tangga hingga ke surga.” ujar Ibu.
Aku hanya terpana kagum dengan kata-kata Ibu.
“Wanita soleha yang baik tentu tahu bahwa ia harus mencari keridhoan suaminya. Sedangkan lelaki soleh yang baik tentu juga tahu bahwa istrinya telah banyak membantu. Sehingga tidak ada cara lain selain lebih mencintainya. Maka terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Serta kelak akan di masukkan ke dalam surga yang terindah. Aamiin Yaa Rabbal A’lamiin…” jelas Ibu, sambil tersenyum mengarahku.
“Aamiin… sekarang Aku sudah mengerti, Bu. Ternyata Ibu bukan hanya ibu yang baik buatku, tapi juga istri yang baik buat Bapak. Aku bangga sama Ibu.” kataku sambil memeluk Ibu.
“Ibu bahagia memilki keluarga yang sederhana ini. Bapakmu dan kamu yang menjadi pengisi hari-hari Ibu.”
Suasana menjadi hening seketika. Aku terhanyut didalam dekapan kasih sayang ibu. Tiba-tiba Bapak datang dari balik pintu kamar dengan seragam kantornya dan menyapa kami berdua dengan manja.
“Selamat pagi kesayangan-kesayangan Bapak.”
“Selamat pagi juga” jawab Aku dan Ibuku serentak dengan lukisan senyuman manis di bibir kami.

Beginilah kehidupan di keluargaku yang penuh cinta. Seorang Ibu yang penyayang dan seorang Bapak yang pengertian membuatku merasa lengkap dengan kehadiran mereka. Sejalan dengan usiaku yang semakin bertambah, kini kutemukan wanita yang kuyakini ketetapannya akan menjadi pendamping hidupku sebagai istriku kelak nanti. Yang akan membuat hidupku semakin bermakna. Harapan besarku sebuah pernikahan yang bahagia seperti Bapak dan Ibuku. 
HILANG
Karya Nurhasanah

Kurenung semua keheningan
Yang ada hanya kehampaan
Kungiang semua keriuhan
Yang ada hanya keresahan

Kupaksa raga tak menyayang
Yang ada hanya luka
Kudesak jiwa tak mengenang
Yang ada hanya duka

Aku berjalan menyusuri segenap bayang
Menerjang gundah yang tak diundang
Menghajar secercah harapan berujung semu
Menerkam pilu yang semakin beradu

Oh …. Kekasihku…
Hilangmu membunuhku
Lenyapmu menghampakanku
Sirnamu menepurukkanku

Kembalilah padaku…