ISTRI ITU PENDAMPING BUKAN PEMBANTU
Nurhasanah
Pada suatu subuh yang dingin, ku langkah kakiku berayun
mengikuti irama hati. Aku menyusuri setiap sudut rumah yang masih sepi. Aroma
embun masih tercium, dan nyanyian burung seakan menyambut mentari kembali. Ketika
itu, ku dapati ibuku sedang memasak di dapur, dengan penuh nuangsa keceriaan. Bagiku
ibu adalah panutan hatiku. Meskipun usiaku sudah 27 tahun, tapi Ibu tetap
menjadi sosok pujaan yang paling dekat denganku.
“Ibu masak apa? Ada yang bisa ku bantu?” aku bertanya manja
pada ibuku.
“Ini nak, Ibu masak ayam goreng dengan sambal tomat kesukaan
Bapak.” sahutnya dengan nada penuh mesra.
“Alhamdulillah, pasti enak ni. Baunya saja menggodaku, Bu”
puji ku sambil tersenyum.
“Kamu ini nak, paling pintar buat Ibu tersenyum.”
“Bu… calon istriku sepertinya tidak bisa memasak.”
“Iya, terus kenapa jika calon istrimu tidak bisa memasak?”
tanya Ibu.
“Ya tidak kenapa-kenapa sih, Bu. Hanya cerita saja, karena
yang ku tahu seorang istri itu harus pintar masak seperti Ibu.”
“Apa kamu pikir bahwa memasak, mencuci, dan mengurus rumah
itu kewajiban wanita?”
Aku menatap Ibu dengan ketidakpahaman. Lalu Ibu melanjutkan
kata-katanya.
“Ketahuilah Nak, itu semua adalah kewajiban laki-laki.
Kewajiban kamu kalau sudah beristri.” Katanya sambil menatapku.
“Tapi bukankah Ibu setiap hari melakukannya?” aku masih
tidak paham juga.
“Kewajiban istri adalah taat dan mencari ridho suami.” ujar
Ibu.
Aku semakin bingung dengan perkataan Ibuku. Beliau justru
berbalik menatapku.
“Menurutmu pengertian nafkah itu seperti apa? Bukankah
kewajiban suami itu menafkahi istri?”
“Iya, tentu Bu…” jawabku singkat.
“Pakaian yang bersih adalah nafkah. Sehingga mencuci adalah
kewajiban suami. Makanan adalah nafkah. Maka, kalau masih berupa beras, berarti
masih setengah nafkah. Jadi, memasak adalah tugas suami. Begitu juga dengan
menyiapkan rumah tinggal, kebersihan rumah, dan kebutuhan keluarga adalah
kewajiban suami.” jelas Ibu.
“Wah… sampai begitunya ya Bu? Lalu kenapa Ibu melakukannya
semua tanpa menuntut Bapak sekalipun?”
“Karena Ibu juga seorang istri yang mencari ridho dari
suami. Ibu juga mencari pahala untuk bekal di akhirat kelak. Ibu juga mencintai
bapakmu, mana mungkin Ibu tega menyuruh bapakmu melakukan semuanya sendiri.”
Aku hanya diam terpesona.
“Pernah dengar cerita Fatimah, yang meminta pembantu kepada
ayahnya, Nabi Muhammad Saw, karena tangannya pecah-pecah akibat menumbuk
gandum? Tapi Rasulullah tidak memberinya. Karena Beliau tahu betul bahwa wanita
dengan penuh kecintaannya telah melakukan bermacam-macam tugas yang
mendatangkan pahala.”
“Iya Bu…”
“Pertanyaan lagi Bu, kenapa Ibu tetap mau melakukannya
padahal itu bukan kewajiban Ibu?”
“Nak, menikah bukan hanya soal menuntut hak kita. Istri
menuntut suami dan suami menuntut istri. Tapi banyak hal lain. Menjaga
keharmonisan, kasih sayang, bekerja sama, dan saling memahami. Wanita yang baik
itu istri yang membantu suaminya, dan lelaki yang baik itu suami yang membantu
istrinya. Toh, impiannya sama-sama untuk mencapai rumah tangga hingga ke surga.”
ujar Ibu.
Aku hanya terpana kagum dengan kata-kata Ibu.
“Wanita soleha yang baik tentu tahu bahwa ia harus mencari
keridhoan suaminya. Sedangkan lelaki soleh yang baik tentu juga tahu bahwa
istrinya telah banyak membantu. Sehingga tidak ada cara lain selain lebih
mencintainya. Maka terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Serta kelak akan di masukkan ke dalam surga yang terindah. Aamiin Yaa Rabbal
A’lamiin…” jelas Ibu, sambil tersenyum mengarahku.
“Aamiin… sekarang Aku sudah mengerti, Bu. Ternyata Ibu bukan
hanya ibu yang baik buatku, tapi juga istri yang baik buat Bapak. Aku bangga
sama Ibu.” kataku sambil memeluk Ibu.
“Ibu bahagia memilki keluarga yang sederhana ini. Bapakmu
dan kamu yang menjadi pengisi hari-hari Ibu.”
Suasana menjadi hening seketika. Aku terhanyut didalam
dekapan kasih sayang ibu. Tiba-tiba Bapak datang dari balik pintu kamar dengan
seragam kantornya dan menyapa kami berdua dengan manja.
“Selamat pagi kesayangan-kesayangan Bapak.”
“Selamat pagi juga” jawab Aku dan Ibuku serentak dengan
lukisan senyuman manis di bibir kami.
Beginilah kehidupan di keluargaku yang penuh cinta. Seorang
Ibu yang penyayang dan seorang Bapak yang pengertian membuatku merasa lengkap
dengan kehadiran mereka. Sejalan dengan usiaku yang semakin bertambah, kini kutemukan
wanita yang kuyakini ketetapannya akan menjadi pendamping hidupku sebagai
istriku kelak nanti. Yang akan membuat hidupku semakin bermakna. Harapan besarku
sebuah pernikahan yang bahagia seperti Bapak dan Ibuku.