Malu Pada Detakmu
(Tribute to: Nurul F. Huda)
Randi tersesat
di kamar mandinya. Sabun jadi sampo dan sikat gigi tanpa pasta. Kacau. Ini
semua bermula dari kambuhnya penyakit lama yang telah dideritanya. Penyakit
yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter di belahan bumi mana pun. Bahkan Randi
juga tidak mengetahui obat apa yang bisa menyembuhkannya. Penyakitnya adalah
susah bangun pagi.
Jam dinding di
kamar kosnya sudah menunjukkan pukul 07.17. Padahal, semalam ia telah berjanji
pada ketua rombongan untuk datang on time
tepat pukul 07.00 WIB. Ops, ternyata Randi masih menganut paham lama dalam
mentransliterasikan kata WIB. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, WIB adalah
akronim dari Waktu Indonesia Barat. Lain bagi Randi, WIB adalah Waktu Indonesia
Bebas. Dasar Randi.
Empat hari ke
depan adalah cuti bersama dan akan menjadi long
weekend bagi para pekerja plat merah. Sebuah catatan khusus, untuk daerah
Kepulauan Riau, Batam adalah tempat favorit untuk menghabiskan long weekend seperti saat ini. Termasuk juga Randi. Pagi ini ia akan bertolak
menyeberang ke Batam bersama ke-12 teman-temannya.
Eits... tapi
bukan untuk shopping! Berapa sih uang
yang dimiliki seorang mahasiswa seperti Randi, yang hanya bekerja sebagai
pegawai honor di sebuah sekolah dasar. Walaupun ini tanggal muda, tapi gajinya
sudah dialokasikan untuk uang kos, uang makan, uang listrik, uang fotokopi,
uang bensin, dan beragam tetek bengek uang yang harus dikeluarkan. Hanya
kejatuhan “durian runtuh” yang bisa membuat Randi belanja di Batam dengan selesa.
Ini pun karena
biaya transportasi dan akomodasi dibiayai ketua rombongan. Kalau BSS (Bayar
Sendiri-Sendiri), jangan harap Randi berpartisipasi. Randi tentu saja memilih
menghabiskan long weekend dengan
duduk manis di kamarnya, menyetel musik keras-keras, dan membaca Yel-nya Putu Wijaya.
Tapi toh Randi
pernah berseloroh, walau jika pada event
di Batam kali ini tidak ada SPPD dari komunitasnya, ia akan tetap
berangkat. Karena event-event seperti
ini tidak pernah Randi lewatkan. Hari ini di Batam, tepatnya di Gedung Graha
Pena digelar sebuah talk show
mengenang seorang penulis perempuan yang telah bahagia di surga.
Ini harus
diapresiasi!
Begitu kata
Randi. Apa yang lebih bahagia dari seorang penulis selain karya-karyanya
diapresiasi. Mengapa Randi begitu peduli? Hanya satu alasannya. Ia juga
bercita-cita menjadi seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi
dengan surat penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.
“Kau nak jadi
penulis?” ledek teman kuliahnya ketika mereka sedang bersembang tentang masa
depan di tepi laut sambil menikmati segelas bandrek.
“Iyelah,” jawab
Randi temberang. “Dengan menulis ‘ni aku yakin boleh keliling dunia. Apa
kau orang tak tengok, Sutardji Calzoum Bachri, orang gudang minyak ‘tu boleh keliling dunia dengan puisinya.
Kelak, aku nak keliling dunia dengan
novel dan cerite-cerite aku, wai.”
“Banyak mimpi
kau, Ran. Bagus jadi pegawai negeri. Masa depan terjamin, tunjangan pun besar.
Anak istri tak kan kelaparan.”
“Bagimu
cita-citamu. Bagiku cita-citaku,” tegas Randi.
“Macam iya aja
kau ‘ni!”
Begitulah Randi
yang teguh memegang cita-citanya menjadi seorang penulis. Bahkan ia rela
mengorbankan apa pun untuk itu. Jika uang menjadi tolak ukur, entah sudah
berapa rupiah jebol dari dompetnya untuk menghadiri event-event berbau sastra, baik di daerah atau di luar kota. Ada
sebuah kebahagiaan batin ketika menghadirinya. Itu yang Randi rasakan. Dan
entah kenapa, kebahagian itu tidak bisa ia wujudkan dengan kata-kata. Sehingga
teman-temannya selalu me-judge jika
kebahagiaan yang Randi rasakan adalah kebahagian yang absurd. Padahal, itu
adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Pun untuk event hari ini di Batam.
***
“Wah, sastrawan
kita ‘ni sibuk sangat nampak. Sampailah dia datang terakhir,” sindir
ketua rombongan ketika melihat Randi di bibir pintu masuk pelabuhan Sri Bintan
Pura.
“Maaf, wai. Jangan macam itulah!” kata Randi
lirih. Mukanya merah menahan malu. Bagaimana tidak, ternyata rombongan ke Batam
didominasi oleh wanita. Tentu saja sebagai perjaka tulen-single-Randi tersipu malu.
“Ya
sudah. Yuk kita masuk! Semua sudah datang kan?” tanya ketua rombongan.
“Sudah, pak,”
jawab seorang gadis Aceh yang bernama Tari.
Di dalam ferry,
Randi memilih seat paling kanan.
Lebih tepatnya bersandingkan jendela. Bukan tanpa alasan. Ada alasan khusus kenapa
Randi memilih seat paling kanan dekat
jendela.
Ini alasan
Randi. Randi ingin berimajinasi liar sepanjang penyeberangan ke Batam! Apa
harus di jendela sebelah kanan? Ya. Karena untuk berimajinasi liar, bola mata
manusia harus mengarah ke kanan. Dan ini tentu lebih mudah dilakukan jika duduk
di seat paling kanan. Jika bola mata
manusia mengarah ke kiri, maka otak manusia akan lebih mudah mengakses memori
kenangan atau rekaman-rekaman kejadian yang pernah dialaminya. Kesimpulannya,
jika ingin mengkhayal atau berimajinasi arahkan bola mata ke kanan, dan jika
ingin mengenang atau mengingat-mengingat, arahkan bola mata ke kiri. Itulah
sekelumit ilmu psikologi yang Randi dapat ketika mengikuti sebuah pelatihan
tentang kekuatan otak.
“Coba kau
tengok, itu dia yang orang sebut dengan Pulau Sore?” tegur
Jodi, teman Randi yang duduk di sebelah kirinya.
“Mana, Jod?”
Randi tersentak.
“Itu ha...,”
kata Jodi sambil menunjuk. “Pulau itu sebenarnya sangat potensial untuk
pariwisata. Pulau itu macam punya selling
point,” lanjut Jodi. Sudah menjadi tabiat Jodi, jika bercakap tak sedap
rasanya tanpa menambahkan frasa-frasa asing.
“Iyelah...,”
kata Randi pendek. Sepertinya ia sedikit terganggu. Lamunannya buyar seketika
dikejutkan Jodi.
Randi kembali
mengembangkan layar imajinya. Membentang gagah di atas lambung kapal yang sarat
muatan imaji. Melego jangkar. Meniup terompet. Berlayar menuju samudera
imaji tak berujung.
Tak lupa Randi
membekap kupingnya dengan headset. Ia
putar musik keras-keras. Terdengar sayup-sayup suara dari headset itu menyeruak keluar. Ternyata dendang Semalam di Malaysia yang dilanturkan D’Lloyd makin menguatkan kapal imajinya. Sambil
sesekali matanya menatap pemandangan eksotis pulau-pulau kecil yang terpaku di
tengah lautan Kepulauan Riau.
***
Sudah waktunya
layar imaji Randi ditutup. Ferry telah merapat di Pelabuhan Telaga Punggur
Batam. Masih sama dengan setahun lalu ketika Randi kali pertama datang ke
Batam. Setiba di pintu keluar langsung disambut oleh lolong para sopir taksi
tak berargo yang menawarkan jasa antar. Beberapa kali Randi menggelengkan
kepalanya menolak tawaran sopir taksi. Karena untuk menghemat biaya, ketua
rombongan tidak men-carter taksi yang
hanya muat untuk 5 orang. Maka carry
atau yang lebih akrab disebut dengan metro menjadi pilihan paling pas untuk
mengangkut 13 orang menuju lokasi talk
show.
Setelah nego
harga, Randi dan temannya diangkut menjadi satu dalam sebuah metro berwarna
oranye. Dialog-dialog dalam metro menjadi pelengkap suasana panas kota Batam.
Teman-temannya bergaya bak seorang reporter berita yang mengabarkan peristiwa
teraktual dari Batam. Ada yang seolah-olah menjadi tour guide dengan menjelaskan segala sesuatu yang terlihat dari
jendela kanan-kiri metro.
Perjalanan dari
Telaga Punggur menuju lokasi talk show
yang bertempat disalah satu kantor harian terbesar di Kepulauan Riau memakan
waktu 45 menit. Selama itulah perut Randi dikocok oleh banyolan yang tersaji
gratis di dalam metro.
Derit rem metro
mengisyaratkan jika sudah saatnya banyolan ini dihentikan. Karena mobil yang
didesain untuk bisa menampung orang sebanyak mungkin itu telah berhenti tepat
di sebuah gedung yang lebih mirip dengan CPU komputer. Graha Pena.
Begitu yang tertulis di depannya. Apa yang akan terjadi di dalam. Apakah akan
berlangsung sebuah seminar yang membosankan. Atau hanya sebuah seminar yang
itu-itu saja.
“Lepas kuliah,
aku hendak kerja sinilah,” Randi sesumbar pada ketua rombongan.
“Nak jadi
wartawan juga?”
“Sedapnya jadi
wartawan, kita boleh menulis sepanjang hari!”
“Iyelah... yuk
masuk! Acare ‘nak dimulai.”
Talk show mengenang salah seorang
penulis perempuan itu dilangsungkan di lantai enam. Sepi. Oh iya... Randi
terlupa jika hari ini adalah hari libur nasional. Pantas saja hanya segelintir
orang yang tertangkap mata masih bekerja.
Mata Randi
tidak hentinya jelalatan kemana-mana. Ia memperhatikan dengan seksama foto-foto
jurnalistik yang dipajang hampir di seluruh sudut kantor itu. Selain menjadi
penulis, Randi juga sudah lama ingin menjadi seorang jurnalis. Menurutnya,
dengan bekerja sebagai jurnalis akan memudahkannya untuk membentuk writing habit dalam dirinya.
“Oi... asyik
melamun saja, tekan nomot 6!” kata ketua rombongan memecahkan keheningan
lamunan Randi. Asyik melamun, Randi tak sadar jika ia sudah berdiri di dalam
lift.
***
“Alamak....”
Randi tersentak
ketika mengetahui ruang talk show
yang digunakan hanya seluas ruang tamu di kosnya. Itu pun kursi yang disediakan
tidak penuh. Apakah hanya segelintir orang saja yang mengapresiasi almarhumah
dan karya-karyanya. Walau di belakang Randi duduk, tampak mantan Wakil Walikota
Batam turut hadir. Tapi hati Randi tidak henti bertanya, sejauh mana agar karya
itu layak diapresiasi.
Walau Randi
belum kenal dekat sosok almarhumah yang karyanya akan diapresiasi, tapi setidaknya
secara kepenulisan, seperti ada ikatan yang kuat antara Randi dengan
almarhumah. Randi tahu betul bagaimana sakitnya berjibaku dengan kata. Sehingga
ia merasa sebuah karya sastra layak diapresiasi sepadan dengan konser musik
yang bertajuk tribute to.
Buru-buru Randi
mencari tahu siapa almarhumah sebenarnya. Sebelum masuk ke ruangan, ia
sempatkan membeli buku terakhir yang ditulis oleh almarhumah. Ia sadar, itu
artinya ia harus menyisihkan uang makannya beberapa hari. Tak mengapa. Apa arti
makan jika dibandingkan sebuah karya sastra luar biasa berjudul: Hingga Jantungku Berhenti Berdetak.
Nurul F. Huda
namanya.
Randi belum
pernah mendengar nama ini sebelumnya. Apalagi membaca karyanya. Tapi karena
satu alasan tadi, kepenulisan, maka semua yang menulis ia anggap sebagai
saudara. Narasumber pada talk show
siang ini menghadirkan dua karib almarhumah. Mereka bercerita dedikasi
almarhumah semasa hidupnya. Randi tampak hanya mengangguk-angguk saja. Ia
mengikuti seminar dengan antusias.
“Almarhumah
tidak mewariskan apa-apa untuk kita sebagai sahabatnya. Tapi beliau mewariskan
sebuah semangat untuk tetap berkarya. Semangat untuk tetap berbuat meskipun
dalam keadaan sempit. Walau sakit jantung itu telah menjadi sahabat hidupnya,
tapi sedetik pun Almarhumah tidak pernah mengeluh pada kami tentang sakitnya,”
beber seorang narasumber dari Jakarta.
“Satu yang saya
ingat dari beliau adalah cara berfikir kritisnya. Ia tidak banyak bicara. Tapi
seketika ada kesempatan, kata-katanya selalu bernas. Beliau juga adalah seorang
pendengar yang baik. Dan selalu berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara,”
imbuh narasumber lain yang juga sahabat almarhumah selama di Batam.
Setelah
mendengar penjelasan dari kedua narasumber, acara ditutup dengan pelelangan
buku-buku almarhumah. Solidaritas yang ditunjukkan penulis-penulis lain sangat
luar biasa. Untuk yang satu ini, Randi tidak bisa turut bersolidaritas. Bila
dipaksakan, bisa-bisa Randi tidak bisa makan dan bayar uang kos selama satu
bulan. Untuk satu eksemplar saja, buku bisa terlelang hingga 500.000
rupiah!
***
Di depan
ruangan talk show Randi tertunduk
malu. Ia malu dengan almarhumah yang di tengah keterbatasan kesehatan
jantungnya, dia masih bisa total dalam menghasilkan karya-karya yang bernas.
Tiap harinya tak henti dia menulis dan mengajarkan kebaikan lewat tulisannya.
Walau bunyi tak... tak... tak... terus berbunyi seiring nafasnya, dia tetap
tidak mengeluh agar tidak memberatkan orang lain. Semangat menulisnya tetap
berdetak mesti jantungnya tak lagi berdetak. Detak-detak jantungnya masih hidup
di tengah-tengah kemalasan dunia.
Randi berkaca
di depan kaca jendela yang menghadap pada bukit bertuliskan Welcome to Batam. Ia tatap jauh-jauh,
tinggi-tinggi, biru langit yang terjaga. Ia tanyakan pada bayang kabur
dirinya yang muncul di sebalik kaca jendela itu, sejauh mana ia sanggup
menulis. Sekuat apa ia sanggup berkarya.
Tidak ada yang
bisa ditinggalkan oleh seorang penulis, kecuali karya-karyanya yang bernas. Tak
ada yang diwariskan oleh seorang penulis, kecuali semangat berfikirnya. Gajah
mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan buku.
Ia buka iPad yang dibelinya secara kredit. Ia
pelototi tulisan-tulisan yang pernah ia buat di tengah kesehatannya yang prima,
di tengah melimpahnya fasilitas yang dipunya. Hanya tampak lima cerpen yang
berhasil dicipta. Lima cerpen yang selalu gagal menembus media massa.
“Kami malu
padamu, Mbak,” batin Randi.
ANALISIS CERPEN “MALU PADA DETAKMU”
KARYA FATIH MUFTIH
A. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari
jalan suatu cerita. Adapun tema cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih
adalah tentang cinta terhadap profesi kepengarangan dan cita-cita menjadi
seorang penulis. Berikut ini kutipan cerita yang menunjukkan bahwa cerpen ini memiliki
tema tersebut:
“Begitu kata Randi. Apa
yang lebih bahagia bagi seorang penulis selain karya-karyanya diapresiasi.
Mengapa Randi begitu peduli? Hanya satu alasannya. Ia juga bercita-cita menjadi
seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi dengan surat
penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.”
2. Tokoh
Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita. Berikut ini adalah tokoh-tokoh
dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·
Randi
·
Ketua Rombongan
·
Jodi
·
Nurul F. Huda
3. Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau melukiskan sifat
yang dimiliki tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dalam penokohan, watak atau
karakter seorang tokoh dapat dilihat dari tiga segi, yaitu melalui dialog
tokoh, penjelasan tokoh, dan penggambaran fisik. Adapun sifat yang dimiliki
oleh tokoh-tokoh dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara
lain:
·
Randi
Penokohan yang dimiliki
Randi adalah percaya diri, suka berimajinasi dan pantang menyerah. Adapun
kutipan cerita yang menunjukkan Randi memiliki watak tersebut yaitu:
v “Iyelah,” jawab Randi
temberang. “Dengan menulis ‘ni aku yakin boleh keliling dunia. Apa kau orang
tak tengok, Sutardji Calzoum Bachri, orang gudang minyak ‘tu boleh keliling
dunia dengan puisinya. Kelak, aku nak keliling dunia dengan novel dan
cerite-cerite aku, wai.”
v Ini alasan Randi. Randi
ingin berimajinasi liar sepanjang penyeberangan ke Batam!
v Ia juga bercita-cita
menjadi seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi dengan surat
penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.”
·
Ketua Rombongan
Penokohan yang dimiliki
ketua rombongan adalah perhatian dan bertanggung jawab. Adapun kutipan cerita
yang menunjukkan bahwa Ketua rombongan memiliki watak tersebut yaitu:
“Ya sudah. Yuk kita masuk! Semua sudah datang kan?” tanya ketua
rombongan.
·
Jodi
Penokohan yang dimiliki
Jodi adalah saat berbicara suka menambah frasa-frasa asing. Adapun kutipan
cerita yang menunjukkan bahwa Jodi memiliki watak tersebut yaitu:
Itu ha…,” kata Jodi sambil menunjuk. “Pulau itu sebenarnya
sangat potensial untuk pariwisata. Pulau itu macam punya selling point,” lanjut
Jodi. Sudah menjadi tabiat Jodi, jika bercakap tak sedap rasanya tanpa
menambahkan frasa-frasa asing.
·
Nurul F. Huda
Penokohan yang dimiliki
Nurul F. Huda adalah berfikir kritis, tidak banyak bicara, dan pendengar yang
baik. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan bahwa Jodi memiliki watak tersebut
yaitu:
“Satu yang saya ingat dari beliau adalah cara berfikir
kritisnya. Ia tidak banyak bicara. Tapi seketika ada kesempatan, kata-katanya
selalu bernas. Beliau juga adalah seorang pendengar yang baik. Dan selalu
berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara,” imbuh narasumber lain yang juga
sahabat almarhumah selama di Batam.
4. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk suatu cerita.
Dalam cerpen yang berjudul “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih menggunakan
alur maju. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
·
Tahap pengenalan
·
Tahap pemunculan konflik
·
Tahap klimaks
·
Tahap peleraian
·
Tahap penyelesaian
5. Latar
Latar adalah keterangan yang membantu kejelasan jalan cerita.
Latar meliputi tempat, waktu dan suasana dalam peristiwa suatu cerita.
a.
Latar tempat
Latar tempat
menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita.
Berikut ini adalah latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu”
karya Fatih Muftih antara lain:
·
Pelabuhan Sri Bintan Pura
Adapun kutipan cerita
yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di pelabuhan Sri Bintan Pura yaitu:
“Wah, sastrawan kita ‘ni sibuk sangat nampak. Sampailah dia
datang terakhir,” sindir ketua rombongan ketika melihat Randi di bibir pintu
masuk pelabuhan Sri Bintan Pura.
·
Di dalam ferry
Adapun kutipan cerita
yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di dalam ferry yaitu:
Di dalam ferry, Randi memilih seat paling kanan. Lebih tepatnya
bersandingkan dengan jendela. Bukan tanpa alasan. Ada alasan khusus kenapa
Randi memilih seat paling kanan dekat jendela.
·
Pelabuhan Telaga Punggur
Adapun kutipan cerita
yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di pelabuhan Telaga Punggur yaitu:
Sudah waktunya layar imajinasi Randi ditutup. Ferry telah
merapat di pelabuhan Telaga Punggur Batam. Masih sama dengan setahun lalu
ketika Randi kali pertama datang ke Batam.
·
Ruang Talk Show
Adapun kutipan cerita
yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di ruang talk show yaitu:
Randi tersentak ketika mengetahui ruang talk show yang digunakan
hanya seluas ruang tamu di kosnya. Itu pun kursi yang disediakan tidak penuh.
b.
Latar waktu
Latar waktu menggambarkan
kapan sebuah peristiwa dalam cerita itu terjadi. Berikut ini adalah latar waktu
yang terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·
Pagi
Kutipan cerita yang
menunjukkan bahwa terdapat latar waktu pagi dalam cerpen tersebut yaitu:
Jam dinding di kamar kosnya sudah menunjukkan pukul 07.17.
padahal, semalam ia telah berjanji pada ketua rombongan untuk datang on time
tepat pukul 07.00 WIB.
·
Siang
Kutipan cerita yang
menunjukkan bahwa terdapat latar waktu siang dalam cerpen tersebut yaitu:
Narasumber pada talk show siang ini menghadirkan dua karib
almarhumah.
c.
Latar Suasana
Latar suasana
menggambarkan suasana peristiwa yang terjadi dalam cerita. Latar suasana yang
terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah bahagia.
Kutipan cerita yang menunjukkan cerpen tersebut terdapat latar suasana bahagia
yaitu:
Ada sebuah kebahagiaan batin ketika menghadirinya. Itu yang
Randi rasakan. Dan entah kenapa, kebahagiaan itu tidak bisa ia wujudkan dengan
kata-kata. Sehingga teman-temannya selalu me-judge jika kebahagiaan yang Randi
rasakan adalah kebahagiaan yang absurd. Padahal, itulah kebahagiaan yang
sebenarnya. Pun untuk event hari ini di Batam.
6. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pandang pengarang menampilkan para
pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih
Muftih menggunakan sudut pandang orang ketiga pelaku utama. Adapun kutipan
cerita yang menunjukkan bahwa cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang
ketiga pelaku utama yaitu:
Mata Randi tidak hentinya
jelalatan kemana-mana. Ia memperhatikan dengan seksama foto-foto jurnalistik
yang dipajang hampir diseluruh sudut kantor itu. Selain menjadi penulis, Randi
juga sudah lama ingin menjadi seorang jurnalis. Menurutrnya, dengan bekerja
sebagai jurnalis akan memudahkannya untuk membentuk writing habit dalam
dirinya.
7. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis kepada
pembaca. Adapun amanat yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya
Fatih Muftih adalah keberhasilan para tokoh menduduki singgasana kejayaan tak
diperoleh dengan mudah, tetapi kesemuanya dengan kerja keras. Berikut ini
kutipan cerita yang menunjukkan bahwa cerpen ini memiliki amanat tersebut:
Di depan ruangan talk
show Randi tertunduk malu. Ia malu dengan almarhumah yang di tengah
keterbatasan kesehatan jantungnya, dia masih bisa total dalam menghasilkan
karya-karya yang bernas. Tiap harinya tak henti dia menulis dan mengajarkan
kebaikan lewat tulisannya. Walau bunyi tak…tak…tak…terus berbunyi seiring
nafasnya, dia tetap tidak mengeluh agar tidak memberatkan orang lain. Semangat
menulisnya tetap berdetak mesti jantungnya tak lagi berdetak. Detak-detak
semangatnya masih hidup di tengah-tengah kemalasan dunia.
B. Unsur Ekstrinsik
1.
Latar Belakang Penulis
Memiliki nama lengkap
Fatih Muftih. Menangis kali pertama di dunia pada 7 Januari 1992 di Kabupaten
paling timur di Pulau Jawa, Banyuwangi. Lahir dari buah cinta Nur Husen dan
Masrungah. Tidak pernah membayangkan dirinya akan jatuh cinta pada dunia
kepenulisan. Awal kali menulis ketika pujaan hatinya berulang tahun, namun tak
sepeserpun rupiah ia punya untuk membeli hadiah. Akhirnya ia nekat menulis
sebuah cerita pendek guna dihadiahkan kepada sang pujaan hati. Tak disangka,
cerpennya justru menjadi hadiah paling spesial. Semenjak itulah ia kecanduan
menulis. Terutama fiksi.
Perantauannya ke
Tanjungpinang ia akui sebagai titik awal dalam berkarya. Iklim Tanjungpinang
yang kultural terutama sastra lisan atau tulis membuat dirinya semakin selesa
berkarya. Berbagai penghargaan pernah disabetnya. Diantaranya: Juara I
Sayembara Cerita Rakyat Kepulauan Riau (2010), Juara II Sayembara Cerita Rakyat
Kepulauan Riau Bersetting Modern (2011), Juara I Sayembara Cerpen Bersetting
Museum Tanjungpinang (2011), Juara I Sayembara Cerpen “1 Indonesiaku 1001
Budayaku” (2011) Yogyakarta, dan Juara II Lomba Menulis Cerpen Remaja yang
diteraju oleh Writing Revolution di Pekanbaru (2011).
Aktif diberbagai komunitas
menulis. Komunitas Writing Revolution Pekanbaru, Komunitas Sastrawan Muda
Pelantar KUSAM Tanjungpinang dan juga di Forum Lingkar Pena Tanjungpinang.
Selain menulis, waktunya ia habiskan di SDIT Al-Madinah sebagai Guru Bahasa
Arab dan sebagai Mahasiswa FKIP Bahasa Indonesia Universitas Maritim Raja Ali
Haji Tanjungpinang.
Travelling dan wisata kuliner
adalah hobinya. Fatih bisa dihubungi melalui email: chiefat@gmail.com. Atau di akun facebook-nya: Fatih Faith.
2. Nilai-Nilai
dalam Cerita
·
Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan yang terkandung
dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah ketekunan, ketelitian, dan kerja keras untuk meraih cita-citaya menjadi seorang penulis yang berhasil.
·
Nilai Sosial
Nilai sosial yang
terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah solidaritas
penulis-penulis mengapresiasikan karya-karya Nurul F. Huda yang bernas.
·
Nilai Agama
Nilai
budaya yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih
adalah mengenang orang yang telah tiada yaitu almarhumah Nurul F. Huda dengan
mendoakannya.
·
Nilai Moral
nilai
moral yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada detakmu” karya Fatih Muftih
adalah Nurul F. Huda selalu berbicara dengan baik dan perkataannya selalu
bernas. Dia juga tidak pernah mengeluh dengan penyakitnya.
·
Nilai estetika
Nilai
estetika yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih muftih
adalah penulisannya menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa melayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar