Senin, 01 Agustus 2016

ANALISIS CERPEN "MALU PADA DETAKMU" KARYA FATIH MUFTIH

Malu Pada Detakmu
(Tribute to: Nurul F. Huda)
            Randi tersesat di kamar mandinya. Sabun jadi sampo dan sikat gigi tanpa pasta. Kacau. Ini semua bermula dari kambuhnya penyakit lama yang telah dideritanya. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter di belahan bumi mana pun. Bahkan Randi juga tidak mengetahui obat apa yang bisa menyembuhkannya. Penyakitnya adalah susah bangun pagi.
            Jam dinding di kamar kosnya sudah menunjukkan pukul 07.17. Padahal, semalam ia telah berjanji pada ketua rombongan untuk datang on time tepat pukul 07.00 WIB. Ops, ternyata Randi masih menganut paham lama dalam mentransliterasikan kata WIB. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, WIB adalah akronim dari Waktu Indonesia Barat. Lain bagi Randi, WIB adalah Waktu Indonesia Bebas. Dasar Randi.
            Empat hari ke depan adalah cuti bersama dan akan menjadi long weekend bagi para pekerja plat merah. Sebuah catatan khusus, untuk daerah Kepulauan Riau, Batam adalah tempat favorit untuk menghabiskan long weekend seperti saat ini. Termasuk juga Randi. Pagi ini ia akan bertolak menyeberang ke Batam bersama ke-12 teman-temannya.
            Eits... tapi bukan untuk shopping! Berapa sih uang yang dimiliki seorang mahasiswa seperti Randi, yang hanya bekerja sebagai pegawai honor di sebuah sekolah dasar. Walaupun ini tanggal muda, tapi gajinya sudah dialokasikan untuk uang kos, uang makan, uang listrik, uang fotokopi, uang bensin, dan beragam tetek bengek uang yang harus dikeluarkan. Hanya kejatuhan “durian runtuh” yang bisa membuat Randi belanja di Batam dengan selesa.
            Ini pun karena biaya transportasi dan akomodasi dibiayai ketua rombongan. Kalau BSS (Bayar Sendiri-Sendiri), jangan harap Randi berpartisipasi. Randi tentu saja memilih menghabiskan long weekend dengan duduk manis di kamarnya, menyetel musik keras-keras, dan membaca Yel-nya Putu Wijaya.
            Tapi toh Randi pernah berseloroh, walau jika pada event di Batam kali ini tidak ada SPPD dari komunitasnya, ia akan tetap berangkat. Karena event-event seperti ini tidak pernah Randi lewatkan. Hari ini di Batam, tepatnya di Gedung Graha Pena digelar sebuah talk show mengenang seorang penulis perempuan yang telah bahagia di surga.
            Ini harus diapresiasi!
            Begitu kata Randi. Apa yang lebih bahagia dari seorang penulis selain karya-karyanya diapresiasi. Mengapa Randi begitu peduli? Hanya satu alasannya. Ia juga bercita-cita menjadi seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi dengan surat penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.
            “Kau nak jadi penulis?” ledek teman kuliahnya ketika mereka sedang bersembang tentang masa depan di tepi laut sambil menikmati segelas bandrek.
            “Iyelah,” jawab Randi temberang. “Dengan menulis ‘ni aku yakin boleh keliling dunia. Apa kau orang tak tengok, Sutardji Calzoum Bachri, orang gudang minyak ‘tu boleh keliling dunia dengan puisinya. Kelak, aku nak keliling dunia dengan novel dan cerite-cerite aku, wai.”
            “Banyak mimpi kau, Ran. Bagus jadi pegawai negeri. Masa depan terjamin, tunjangan pun besar. Anak istri tak kan kelaparan.”
            “Bagimu cita-citamu. Bagiku cita-citaku,” tegas Randi.
            “Macam iya aja kau ‘ni!”
            Begitulah Randi yang teguh memegang cita-citanya menjadi seorang penulis. Bahkan ia rela mengorbankan apa pun untuk itu. Jika uang menjadi tolak ukur, entah sudah berapa rupiah jebol dari dompetnya untuk menghadiri event-event berbau sastra, baik di daerah atau di luar kota. Ada sebuah kebahagiaan batin ketika menghadirinya. Itu yang Randi rasakan. Dan entah kenapa, kebahagian itu tidak bisa ia wujudkan dengan kata-kata. Sehingga teman-temannya selalu me-judge jika kebahagiaan yang Randi rasakan adalah kebahagian yang absurd. Padahal, itu adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Pun untuk event hari ini di Batam.
***
            “Wah, sastrawan kita ‘ni sibuk sangat nampak. Sampailah dia datang terakhir,” sindir ketua rombongan ketika melihat Randi di bibir pintu masuk pelabuhan Sri Bintan Pura.
            “Maaf, wai. Jangan macam itulah!” kata Randi lirih. Mukanya merah menahan malu. Bagaimana tidak, ternyata rombongan ke Batam didominasi oleh wanita. Tentu saja sebagai perjaka tulen-single-Randi tersipu malu.
            “Ya sudah. Yuk kita masuk! Semua sudah datang kan?” tanya ketua rombongan.
            “Sudah, pak,” jawab seorang gadis Aceh yang bernama Tari.
            Di dalam ferry, Randi memilih seat paling kanan. Lebih tepatnya bersandingkan jendela. Bukan tanpa alasan. Ada alasan khusus kenapa Randi memilih seat paling kanan dekat jendela.
            Ini alasan Randi. Randi ingin berimajinasi liar sepanjang penyeberangan ke Batam! Apa harus di jendela sebelah kanan? Ya. Karena untuk berimajinasi liar, bola mata manusia harus mengarah ke kanan. Dan ini tentu lebih mudah dilakukan jika duduk di seat paling kanan. Jika bola mata manusia mengarah ke kiri, maka otak manusia akan lebih mudah mengakses memori kenangan atau rekaman-rekaman kejadian yang pernah dialaminya. Kesimpulannya, jika ingin mengkhayal atau berimajinasi arahkan bola mata ke kanan, dan jika ingin mengenang atau mengingat-mengingat, arahkan bola mata ke kiri. Itulah sekelumit ilmu psikologi yang Randi dapat ketika mengikuti sebuah pelatihan tentang kekuatan otak.
            “Coba kau tengok, itu dia yang orang sebut dengan Pulau Sore?” tegur Jodi, teman Randi yang duduk di sebelah kirinya.
            “Mana, Jod?” Randi tersentak.
            “Itu ha...,” kata Jodi sambil menunjuk. “Pulau itu sebenarnya sangat potensial untuk pariwisata. Pulau itu macam punya selling point,” lanjut Jodi. Sudah menjadi tabiat Jodi, jika bercakap tak sedap rasanya tanpa menambahkan frasa-frasa asing.
            “Iyelah...,” kata Randi pendek. Sepertinya ia sedikit terganggu. Lamunannya buyar seketika dikejutkan Jodi.
            Randi kembali mengembangkan layar imajinya. Membentang gagah di atas lambung kapal yang sarat muatan imaji. Melego jangkar. Meniup terompet. Berlayar menuju samudera imaji tak berujung.
            Tak lupa Randi membekap kupingnya dengan headset. Ia putar musik keras-keras. Terdengar sayup-sayup suara dari headset itu menyeruak keluar. Ternyata dendang Semalam di Malaysia yang dilanturkan D’Lloyd makin menguatkan kapal imajinya. Sambil sesekali matanya menatap pemandangan eksotis pulau-pulau kecil yang terpaku di tengah lautan Kepulauan Riau.
***
            Sudah waktunya layar imaji Randi ditutup. Ferry telah merapat di Pelabuhan Telaga Punggur Batam. Masih sama dengan setahun lalu ketika Randi kali pertama datang ke Batam. Setiba di pintu keluar langsung disambut oleh lolong para sopir taksi tak berargo yang menawarkan jasa antar. Beberapa kali Randi menggelengkan kepalanya menolak tawaran sopir taksi. Karena untuk menghemat biaya, ketua rombongan tidak men-carter taksi yang hanya muat untuk 5 orang. Maka carry atau yang lebih akrab disebut dengan metro menjadi pilihan paling pas untuk mengangkut 13 orang menuju lokasi talk show.
            Setelah nego harga, Randi dan temannya diangkut menjadi satu dalam sebuah metro berwarna oranye. Dialog-dialog dalam metro menjadi pelengkap suasana panas kota Batam. Teman-temannya bergaya bak seorang reporter berita yang mengabarkan peristiwa teraktual dari Batam. Ada yang seolah-olah menjadi tour guide dengan menjelaskan segala sesuatu yang terlihat dari jendela kanan-kiri metro.
            Perjalanan dari Telaga Punggur menuju lokasi talk show yang bertempat disalah satu kantor harian terbesar di Kepulauan Riau memakan waktu 45 menit. Selama itulah perut Randi dikocok oleh banyolan yang tersaji gratis di dalam metro.
            Derit rem metro mengisyaratkan jika sudah saatnya banyolan ini dihentikan. Karena mobil yang didesain untuk bisa menampung orang sebanyak mungkin itu telah berhenti tepat di sebuah gedung yang lebih mirip dengan CPU komputer. Graha Pena. Begitu yang tertulis di depannya. Apa yang akan terjadi di dalam. Apakah akan berlangsung sebuah seminar yang membosankan. Atau hanya sebuah seminar yang itu-itu saja.
            “Lepas kuliah, aku hendak kerja sinilah,” Randi sesumbar pada ketua rombongan.
            “Nak jadi wartawan juga?”
            “Sedapnya jadi wartawan, kita boleh menulis sepanjang hari!”
            “Iyelah... yuk masuk! Acare ‘nak dimulai.”
            Talk show mengenang salah seorang penulis perempuan itu dilangsungkan di lantai enam. Sepi. Oh iya... Randi terlupa jika hari ini adalah hari libur nasional. Pantas saja hanya segelintir orang yang tertangkap mata masih bekerja.
            Mata Randi tidak hentinya jelalatan kemana-mana. Ia memperhatikan dengan seksama foto-foto jurnalistik yang dipajang hampir di seluruh sudut kantor itu. Selain menjadi penulis, Randi juga sudah lama ingin menjadi seorang jurnalis. Menurutnya, dengan bekerja sebagai jurnalis akan memudahkannya untuk membentuk writing habit dalam dirinya.
            “Oi... asyik melamun saja, tekan nomot 6!” kata ketua rombongan memecahkan keheningan lamunan Randi. Asyik melamun, Randi tak sadar jika ia sudah berdiri di dalam lift.
***
            “Alamak....”
            Randi tersentak ketika mengetahui ruang talk show yang digunakan hanya seluas ruang tamu di kosnya. Itu pun kursi yang disediakan tidak penuh. Apakah hanya segelintir orang saja yang mengapresiasi almarhumah dan karya-karyanya. Walau di belakang Randi duduk, tampak mantan Wakil Walikota Batam turut hadir. Tapi hati Randi tidak henti bertanya, sejauh mana agar karya itu layak diapresiasi.
            Walau Randi belum kenal dekat sosok almarhumah yang karyanya akan diapresiasi, tapi setidaknya secara kepenulisan, seperti ada ikatan yang kuat antara Randi dengan almarhumah. Randi tahu betul bagaimana sakitnya berjibaku dengan kata. Sehingga ia merasa sebuah karya sastra layak diapresiasi sepadan dengan konser musik yang bertajuk tribute to.
            Buru-buru Randi mencari tahu siapa almarhumah sebenarnya. Sebelum masuk ke ruangan, ia sempatkan membeli buku terakhir yang ditulis oleh almarhumah. Ia sadar, itu artinya ia harus menyisihkan uang makannya beberapa hari. Tak mengapa. Apa arti makan jika dibandingkan sebuah karya sastra luar biasa berjudul: Hingga Jantungku Berhenti Berdetak.
            Nurul F. Huda namanya.
            Randi belum pernah mendengar nama ini sebelumnya. Apalagi membaca karyanya. Tapi karena satu alasan tadi, kepenulisan, maka semua yang menulis ia anggap sebagai saudara. Narasumber pada talk show siang ini menghadirkan dua karib almarhumah. Mereka bercerita dedikasi almarhumah semasa hidupnya. Randi tampak hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengikuti seminar dengan antusias.
            “Almarhumah tidak mewariskan apa-apa untuk kita sebagai sahabatnya. Tapi beliau mewariskan sebuah semangat untuk tetap berkarya. Semangat untuk tetap berbuat meskipun dalam keadaan sempit. Walau sakit jantung itu telah menjadi sahabat hidupnya, tapi sedetik pun Almarhumah tidak pernah mengeluh pada kami tentang sakitnya,” beber seorang narasumber dari Jakarta.
            “Satu yang saya ingat dari beliau adalah cara berfikir kritisnya. Ia tidak banyak bicara. Tapi seketika ada kesempatan, kata-katanya selalu bernas. Beliau juga adalah seorang pendengar yang baik. Dan selalu berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara,” imbuh narasumber lain yang juga sahabat almarhumah selama di Batam.
            Setelah mendengar penjelasan dari kedua narasumber, acara ditutup dengan pelelangan buku-buku almarhumah. Solidaritas yang ditunjukkan penulis-penulis lain sangat luar biasa. Untuk yang satu ini, Randi tidak bisa turut bersolidaritas. Bila dipaksakan, bisa-bisa Randi tidak bisa makan dan bayar uang kos selama satu bulan. Untuk satu eksemplar saja, buku bisa terlelang hingga 500.000 rupiah!
***
            Di depan ruangan talk show Randi tertunduk malu. Ia malu dengan almarhumah yang di tengah keterbatasan kesehatan jantungnya, dia masih bisa total dalam menghasilkan karya-karya yang bernas. Tiap harinya tak henti dia menulis dan mengajarkan kebaikan lewat tulisannya. Walau bunyi tak... tak... tak... terus berbunyi seiring nafasnya, dia tetap tidak mengeluh agar tidak memberatkan orang lain. Semangat menulisnya tetap berdetak mesti jantungnya tak lagi berdetak. Detak-detak jantungnya masih hidup di tengah-tengah kemalasan dunia.
            Randi berkaca di depan kaca jendela yang menghadap pada bukit bertuliskan Welcome to Batam. Ia tatap jauh-jauh, tinggi-tinggi, biru langit yang terjaga. Ia tanyakan pada bayang kabur dirinya yang muncul di sebalik kaca jendela itu, sejauh mana ia sanggup menulis. Sekuat apa ia sanggup berkarya.
            Tidak ada yang bisa ditinggalkan oleh seorang penulis, kecuali karya-karyanya yang bernas. Tak ada yang diwariskan oleh seorang penulis, kecuali semangat berfikirnya. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan buku.
            Ia buka iPad yang dibelinya secara kredit. Ia pelototi tulisan-tulisan yang pernah ia buat di tengah kesehatannya yang prima, di tengah melimpahnya fasilitas yang dipunya. Hanya tampak lima cerpen yang berhasil dicipta. Lima cerpen yang selalu gagal menembus media massa.
            “Kami malu padamu, Mbak,” batin Randi.

ANALISIS CERPEN “MALU PADA DETAKMU” KARYA FATIH MUFTIH
A.    Unsur Intrinsik
1.      Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan suatu cerita. Adapun tema cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah tentang cinta terhadap profesi kepengarangan dan cita-cita menjadi seorang penulis. Berikut ini kutipan cerita yang menunjukkan bahwa cerpen ini memiliki tema tersebut:
Begitu kata Randi. Apa yang lebih bahagia bagi seorang penulis selain karya-karyanya diapresiasi. Mengapa Randi begitu peduli? Hanya satu alasannya. Ia juga bercita-cita menjadi seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi dengan surat penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.”
2.      Tokoh
Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita. Berikut ini adalah tokoh-tokoh dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·         Randi
·         Ketua Rombongan
·         Jodi
·         Nurul F. Huda
3.      Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau melukiskan sifat yang dimiliki tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dalam penokohan, watak atau karakter seorang tokoh dapat dilihat dari tiga segi, yaitu melalui dialog tokoh, penjelasan tokoh, dan penggambaran fisik. Adapun sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·         Randi 
Penokohan yang dimiliki Randi adalah percaya diri, suka berimajinasi dan pantang menyerah. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan Randi memiliki watak tersebut yaitu:
v “Iyelah,” jawab Randi temberang. “Dengan menulis ‘ni aku yakin boleh keliling dunia. Apa kau orang tak tengok, Sutardji Calzoum Bachri, orang gudang minyak ‘tu boleh keliling dunia dengan puisinya. Kelak, aku nak keliling dunia dengan novel dan cerite-cerite aku, wai.”
v Ini alasan Randi. Randi ingin berimajinasi liar sepanjang penyeberangan ke Batam!
v Ia juga bercita-cita menjadi seorang penulis. Walau tulisannya lebih sering diapresiasi dengan surat penolakan oleh beberapa media dan juga penerbit.”
·         Ketua Rombongan
Penokohan yang dimiliki ketua rombongan adalah perhatian dan bertanggung jawab. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan bahwa Ketua rombongan memiliki watak tersebut yaitu:
Ya sudah. Yuk kita masuk! Semua sudah datang kan?” tanya ketua rombongan.
·         Jodi
Penokohan yang dimiliki Jodi adalah saat berbicara suka menambah frasa-frasa asing. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan bahwa Jodi memiliki watak tersebut yaitu:
Itu ha…,” kata Jodi sambil menunjuk. “Pulau itu sebenarnya sangat potensial untuk pariwisata. Pulau itu macam punya selling point,” lanjut Jodi. Sudah menjadi tabiat Jodi, jika bercakap tak sedap rasanya tanpa menambahkan frasa-frasa asing.
·         Nurul F. Huda
Penokohan yang dimiliki Nurul F. Huda adalah berfikir kritis, tidak banyak bicara, dan pendengar yang baik. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan bahwa Jodi memiliki watak tersebut yaitu:
“Satu yang saya ingat dari beliau adalah cara berfikir kritisnya. Ia tidak banyak bicara. Tapi seketika ada kesempatan, kata-katanya selalu bernas. Beliau juga adalah seorang pendengar yang baik. Dan selalu berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara,” imbuh narasumber lain yang juga sahabat almarhumah selama di Batam.
4.      Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk suatu cerita. Dalam cerpen yang berjudul “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih menggunakan alur maju. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
·         Tahap pengenalan
·         Tahap pemunculan konflik
·         Tahap klimaks
·         Tahap peleraian
·         Tahap penyelesaian
5.      Latar
Latar adalah keterangan yang membantu kejelasan jalan cerita. Latar meliputi tempat, waktu dan suasana dalam peristiwa suatu cerita.
a.      Latar tempat
Latar tempat menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Berikut ini adalah latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·         Pelabuhan Sri Bintan Pura
Adapun kutipan cerita yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di pelabuhan Sri Bintan Pura yaitu:
“Wah, sastrawan kita ‘ni sibuk sangat nampak. Sampailah dia datang terakhir,” sindir ketua rombongan ketika melihat Randi di bibir pintu masuk pelabuhan Sri Bintan Pura.
·         Di dalam ferry
Adapun kutipan cerita yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di dalam ferry yaitu:
Di dalam ferry, Randi memilih seat paling kanan. Lebih tepatnya bersandingkan dengan jendela. Bukan tanpa alasan. Ada alasan khusus kenapa Randi memilih seat paling kanan dekat jendela.
·         Pelabuhan Telaga Punggur
Adapun kutipan cerita yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di pelabuhan Telaga Punggur yaitu:
Sudah waktunya layar imajinasi Randi ditutup. Ferry telah merapat di pelabuhan Telaga Punggur Batam. Masih sama dengan setahun lalu ketika Randi kali pertama datang ke Batam.
·         Ruang Talk Show
Adapun kutipan cerita yang menujukkan bahwa terdapat latar tempat di ruang talk show yaitu:
Randi tersentak ketika mengetahui ruang talk show yang digunakan hanya seluas ruang tamu di kosnya. Itu pun kursi yang disediakan tidak penuh.
b.      Latar waktu
Latar waktu menggambarkan kapan sebuah peristiwa dalam cerita itu terjadi. Berikut ini adalah latar waktu yang terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih antara lain:
·         Pagi
Kutipan cerita yang menunjukkan bahwa terdapat latar waktu pagi dalam cerpen tersebut yaitu:
Jam dinding di kamar kosnya sudah menunjukkan pukul 07.17. padahal, semalam ia telah berjanji pada ketua rombongan untuk datang on time tepat pukul 07.00 WIB.
·         Siang
Kutipan cerita yang menunjukkan bahwa terdapat latar waktu siang dalam cerpen tersebut yaitu:
Narasumber pada talk show siang ini menghadirkan dua karib almarhumah.
c.      Latar Suasana
Latar suasana menggambarkan suasana peristiwa yang terjadi dalam cerita. Latar suasana yang terdapat dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah bahagia. Kutipan cerita yang menunjukkan cerpen tersebut terdapat latar suasana bahagia yaitu:
Ada sebuah kebahagiaan batin ketika menghadirinya. Itu yang Randi rasakan. Dan entah kenapa, kebahagiaan itu tidak bisa ia wujudkan dengan kata-kata. Sehingga teman-temannya selalu me-judge jika kebahagiaan yang Randi rasakan adalah kebahagiaan yang absurd. Padahal, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Pun untuk event hari ini di Batam.
6.      Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pandang pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih menggunakan sudut pandang orang ketiga pelaku utama. Adapun kutipan cerita yang menunjukkan bahwa cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga pelaku utama yaitu:
Mata Randi tidak hentinya jelalatan kemana-mana. Ia memperhatikan dengan seksama foto-foto jurnalistik yang dipajang hampir diseluruh sudut kantor itu. Selain menjadi penulis, Randi juga sudah lama ingin menjadi seorang jurnalis. Menurutrnya, dengan bekerja sebagai jurnalis akan memudahkannya untuk membentuk writing habit dalam dirinya.
7.      Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Adapun amanat yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah keberhasilan para tokoh menduduki singgasana kejayaan tak diperoleh dengan mudah, tetapi kesemuanya dengan kerja keras. Berikut ini kutipan cerita yang menunjukkan bahwa cerpen ini memiliki amanat tersebut:
Di depan ruangan talk show Randi tertunduk malu. Ia malu dengan almarhumah yang di tengah keterbatasan kesehatan jantungnya, dia masih bisa total dalam menghasilkan karya-karya yang bernas. Tiap harinya tak henti dia menulis dan mengajarkan kebaikan lewat tulisannya. Walau bunyi tak…tak…tak…terus berbunyi seiring nafasnya, dia tetap tidak mengeluh agar tidak memberatkan orang lain. Semangat menulisnya tetap berdetak mesti jantungnya tak lagi berdetak. Detak-detak semangatnya masih hidup di tengah-tengah kemalasan dunia.
B.     Unsur Ekstrinsik
1.      Latar Belakang Penulis
Memiliki nama lengkap Fatih Muftih. Menangis kali pertama di dunia pada 7 Januari 1992 di Kabupaten paling timur di Pulau Jawa, Banyuwangi. Lahir dari buah cinta Nur Husen dan Masrungah. Tidak pernah membayangkan dirinya akan jatuh cinta pada dunia kepenulisan. Awal kali menulis ketika pujaan hatinya berulang tahun, namun tak sepeserpun rupiah ia punya untuk membeli hadiah. Akhirnya ia nekat menulis sebuah cerita pendek guna dihadiahkan kepada sang pujaan hati. Tak disangka, cerpennya justru menjadi hadiah paling spesial. Semenjak itulah ia kecanduan menulis. Terutama fiksi.
Perantauannya ke Tanjungpinang ia akui sebagai titik awal dalam berkarya. Iklim Tanjungpinang yang kultural terutama sastra lisan atau tulis membuat dirinya semakin selesa berkarya. Berbagai penghargaan pernah disabetnya. Diantaranya: Juara I Sayembara Cerita Rakyat Kepulauan Riau (2010), Juara II Sayembara Cerita Rakyat Kepulauan Riau Bersetting Modern (2011), Juara I Sayembara Cerpen Bersetting Museum Tanjungpinang (2011), Juara I Sayembara Cerpen “1 Indonesiaku 1001 Budayaku” (2011) Yogyakarta, dan Juara II Lomba Menulis Cerpen Remaja yang diteraju oleh Writing Revolution di Pekanbaru (2011).
Aktif diberbagai komunitas menulis. Komunitas Writing Revolution Pekanbaru, Komunitas Sastrawan Muda Pelantar KUSAM Tanjungpinang dan juga di Forum Lingkar Pena Tanjungpinang. Selain menulis, waktunya ia habiskan di SDIT Al-Madinah sebagai Guru Bahasa Arab dan sebagai Mahasiswa FKIP Bahasa Indonesia Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.
Travelling dan wisata kuliner adalah hobinya. Fatih bisa dihubungi melalui email: chiefat@gmail.com. Atau di akun facebook-nya: Fatih Faith.

2.      Nilai-Nilai dalam Cerita
·         Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah  ketekunan, ketelitian, dan kerja keras untuk meraih cita-citaya menjadi seorang penulis yang berhasil.
·         Nilai Sosial
Nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah solidaritas penulis-penulis mengapresiasikan karya-karya Nurul F. Huda yang bernas.
·         Nilai Agama
Nilai budaya yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih Muftih adalah mengenang orang yang telah tiada yaitu almarhumah Nurul F. Huda dengan mendoakannya.
·         Nilai Moral
nilai moral yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada detakmu” karya Fatih Muftih adalah Nurul F. Huda selalu berbicara dengan baik dan perkataannya selalu bernas. Dia juga tidak pernah mengeluh dengan penyakitnya.
·         Nilai estetika
Nilai estetika yang terkandung dalam cerpen “Malu Pada Detakmu” karya Fatih muftih adalah penulisannya menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa melayu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar